Minggu, 12 Mei 2013

TEORI KOMUNIKASI MEDIA MASSA

1.    Hypodermie Needle Theory


Teori ini berkembang di sekitar tahun 1930 hingga 1940an. Dan ini merupakan teori media massa pertama yang ada. Teori ini mengasumsikan bahwa komunikator yakni media massa digambarkan lebih pintar dan juga lebih segalanya dari audience.
Teori ini memiliki banyak istilah lain. Biasa kita sebut Hypodermic needle ( teori jarum suntik ), Bullet Theory ( teori peluru ) transmition belt theory ( teori sabuk transmisi ). Dari beberapa istilah lain dari teori ini dapat kita tarik satu makna , yakni penyampaian pesannya hanya satu arah dan juga mempunyai efek yang sangat kuat terhadap komunikan.

Dari beberapa sumber teori ini bermakna :
•  Memprediksikan dampak pesan pesan komunikasi massa yang kuat dan kurang lebih universal pada semua audience ( Severin, Werner J.2005: 314
•  Disini dapat dimaknai bahwa peran media massa di waktunya ( sekitar tahun 1930an ) sangat kuat sehingga audience benar mengikuti apa yang ada dalam media massa.
Selain itu teori ini juga di maknai dalam teori peluru karena apa yang di sampaikan oleh media langsung sampai terhadap audience. ( Nurudin . 2007 : 165 )
•  Kekuatan media yang begitu dahsyat hingga bisa memegang kendali pikiran khalayak yang pasif dan tak berdaya. ( http//jurnalkomunikasi.com ).
Dari sini kita ketahui bahwa teori peluru adalah :
Sebuah teori media yang memiliki dampak yang kuat terhadap audiencenya sehingga tak jarang menimbulkan sebuah budaya baru dan penyaampaiannya secara langsung dari komunikator yakni media kepada komunikan ( audience ).

beberapa hal yang juga ada dan menjadi bagian yang sangat penting ada dalam teori ini antara lain :
•  Media : dalam hal ini berperan sebagai komunikator, dan komunikator di sini sifatnya adalah melembaga dan bukan perorangan.
•  Pesan : disni pesan adalah isi atau hal yang disampakan oleh media tersebut
•  Audience : audience berfungsi sebagai komunikan yang menerima pesan dari komunikator.

Komunikator yakni media juga memiliki kriteria yang ada :
•  kredibilitas media tersebut
•  daya tarik dari media tersebut
•  kekuasaan media

Pesan yang di sampaikaan juga memiliki beberapa unsur :
•  struktur pesan tersebut
•  gaya dari pesan tersebut
•  appeals dari pesan tersebut.

Dan selain itu sebagai komunikan, ada beberapa perubahan atau efek yang di harapkan diantaranya :
•  perubahan afeksi dari komunikan
•  perubahan behaviour dan
•  perubahan kognisi

Jadi disini media benar mempunyai kekuatan yang sangat kuat untuk mempengaruhi audience.

TERAPAN TEORI TERHADAP MASYARAKAT

Masyarakat bukanlah atom- atom yang mengalami alienasi, melainkan agen-agen yang akan menunjukkan kemampuan subyektivitasnya dalam menanggapi pesan-pesan media. Masyarakat merupakan pihak yang dapat bertindak aktif untuk membaca dan memaknai setiap pesan media yang melintas dan menghunjam benak kesadarannya. Masyarakat mampu menunjukkan kelihaiannya dalam menegosiasikan pesan-pesan media. Sampai pada titik yang sulit diramalkan kepastiannya, masyarakat pun akan melakukan oposisi atau perlawanan terhadap pesan-pesan media itu sendiri. Selain dipertimbangkan, pesan-pesan media akan mendapatkan subversi tanpa henti.

Contoh yang akan kita bahas dalam makalah ini adalah, pada iklan air mineral yang bermerek Aqua. Dimana pada saat produk air mineral ini dipublikasikan, secara langsung bisa mempengaruhi asumsi khalayak bahwasanya air mineral itu adalah aqua. Sehingga sampai saat ini aqua sudah terdoktrin di ingatan khalayak. Walaupun sudah banyak merek-merek air mineral yang bermunculan.

Kelemahan dan kekuatan theory hypodermic needle theory
Pada dasarnya setiap theory memmpunyai kekuatan dan juga kelemahan. Dan tentunya beberapa teori tersebut hanya bisa berkembang di masanya dan juga mengalami penyempurnaan seperti teori ini yang juga terus mengalami perkembangan.

Kekuatan teori jarum suntik :
•  media memiliki peranan yang kuat dan dapat mempengaruhi aveksi, kognisi dan behaviour dari audiencenya.
•  Pemerintah dalam hal ini penguasa dapat memanfaatkan media untuk kepentingan birokrasi ( negara otoriter )
•  Audience dapat lebih mudah di pengaruhi
•  Pesanya lebih mudah dipahami.

Sedikit kontrol karena masyarakat masih dalam kondisi homogen.
Kelemahan teori jarum suntik :
•  keberadaan masyarakat yang tak lagi homogen dapat mengikis teori ini
tingkat pendidikan masyarakat yang semakin meningkat
•  Meningkatnya jumlah media massa sehingga masyarakat menentukan pilihan yang menarik bagi dirinya
•  Adanya peran kelompok yang juga menjadi dasar audience untuk menerima pesan dari media tersebut.


2.    Agenda Settingn Theory
Teori Penentuan Agenda (bahasa Inggris: Agenda Setting Theory) adalah teori yang menyatakan bahwa media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang penentuan agenda adalah:

(1) masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu;
(2) konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain; Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep penentuan agenda adalah peran fenomena komunikasi massa, berbagai media massa memiliki penentuan agenda yang potensial berbeda termasuk intervensi dari pemodal.
Contoh : McCombs dan Shaw terfokus pada dua elemen: kesadaran dan informasi. Investigasi Penentuan Agenda melihat fungsi media massa dalam berkampanye, mereka berusaha untuk menilai apa hubungan antara masyarakat pemilih dalam satu kata yang penting dan isi pesan sebenarnya media massa yang digunakan selama kampanye. McCombs Shaw dan menyimpulkan bahwa media massa secara signifikan memengaruhi pada para pemilih yang dianggap sebagai masalah utama dari kampanye.

3.    Cultivation Theory
Epistimologis dari cultivation adalah penanaman. Cultivation Theory- Teori Kultivasi-, adalah sebuah teori dalam konteks keterkaitan media massa dengan penanaman terhadap suatu nilai yang akan berpengaruh pada sikap dan perilaku khalayak. Teori ini, digagas oleh seorang Pakar komunikasi dari Annenberg School of Communication, Profesor George Gerbner. Pada 1960, Profesor Gerbner melakukan penelitian tentang “indikator budaya” untuk mempelajari pengaruh televisi. Profesor Gerbner ingin mengetahui pengaruh-pengaruh televisi terhadap tingkah laku, sikap, dan nilai khalayak. Dalam bahasa lain, Profesor Gerbner memberikan penegasan dalam penelitiannya berupa dampak yang di timbulkan televisi kepada khalayak.
Teori Kultivasi berpandangan bahwa media massa, yang dalam konteks teori ini adalah televisi, memiliki andil besar dalam penanaman dan pembentukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. “Menurut teori ini, televisi menjadi alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya”(Nurudin, 2004). Persepsi dan cara pandang yang ada dalam masyarakat, sangat besar dipengaruhi oleh televisi. Atau dalam kalimat lain, apa yang kita pikirkan adalah apa yang dipikirkan media massa.


4.    Uses And Gratification Theory
Uses and Gratification Theory adalah salah satu teori komunikasi dimana titik-berat penelitian dilakukan pada pemirsa sebagai penentu pemilihan pesan dan media.
Pemirsa dilihat sebagai individu aktif dan memiliki tujuan, mereka bertanggung jawab dalam pemilihan media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka dan individu ini tahu kebutuhan mereka dan bagaimana memenuhinya. Media dianggap hanya menjadi salah satu cara pemenuhan kebutuhan dan individu bisa jadi menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau tidak menggunakan media dan memilih cara lain.
Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan menggunakan pendekatan ini berfokus terhadap audiens member. Dimana Teori ini mencoba menjelaskan tentang bagaimana audiens memilih media yang mereka inginkan. Dimana mereka merupakan audiens / khalayak yang secara aktif memilih dan memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda – beda di dalam mengkonsumsi media.
Menurut para pendirinya, Elihu Katz, Jay G. Blumlerm dan Michael Gurevitch uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain , yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan, dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Pendekatan ini secara kontras membandingkan efek dari media dan bukan ‘apa yang media lakukan pada pemirsanya’ (kritik akan teori jarum hipodermik, dimana pemirsa merupakan obejk pasif yang hanya menerima apa yang diberi media).
Sebagaimana yang diketahui, bahwa kebutuhan manusia yang memiliki motif yang berbeda-beda. Dengan kata lain, setiap orang memiliki latar belakang, pengalaman dan lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini, tentunya berpengaruh pula kepada pemilihan konsumsi akan sebuah media. Katz, Blumler, Gurevitch mencoba merumuskan asumsi dasar dari teori ini , yaitu : Khalayak dianggap aktif, dimana penggunaan media massa diasumsikan memiliki tujuan. Point kedua ialah, dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif yang mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak. Point ketiga, media massa harus bersaing dengan sumber – sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Dimana kebutuhannya ialah untuk memuaskan kebutuhan manusia, hal ini bergantung kepada khalayak yang bersangkutan. Point keempat, banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak. Point kelima adalah Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media secara spesifik.
Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan dapat dilihat sebagai kecenderungan yang lebih luas oleh peneliti media yang membuka ruang untuk umpan balik dan penerjemahan prilaku yang lebih beragam. Namun beberapa komentar berargumentasi bahwa pemenuhan kepuasan seharusnya dapat dilihat sebagai efek, contohnya film horror secara umum menghasilkan respon yang sama pada pemirsanya, lagipula banyak orang sebenarnya telah menghabiskan waktu di depan TV lebih banyak daripada yang mereka rencanakan. Menonton TV sendiri telah membentuk opini apa yang dibutuhkan pemirsa dan membentuk harapan-harapan.
Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan pada awalnya muncul ditahun 1940 dan mengalami kemunculan kembali dan penguatan di tahun 1970an dan 1980an. Para teoritis pendukung Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan berargumentasi bahwa kebutuhan manusialah yang memengaruhi bagaimana mereka menggunakan dan merespon saluran media. Zillman sebagaimana dikutip McQuail telah menunjukkan pengaruh mood seseorang saat memilih media yang akan ia gunakan, pada saat seseorang merasa bosan maka ia akan memilih isi yang lebih menarik dan menegangkan dan pada saat seseorang merasa tertekan ia akan memilih isi yang lebih menenangkan dan ringan. Program TV yang sama bisa jadi berbeda saat harus kepuasan pada kebutuhan yang berbeda untuk individu yang berbeda. Kebutuhan yang berbeda diasosiasikan dengan kepribadian seseorang, tahap-tahap kedewasaannya, latar belakang, dan peranan sosialnya. Sebagai contoh menurut Judith van Evra anak-anak secara khusu lebih menyukai untuk menonton TV untuk mencari informasi dan disaat yang sama lebih mudah dipengaruhi
Kritik akan teori ini
Pada derajat tertentu laporan penggunaan media oleh para pemirsanya memiliki keterbatasan-keterbatasan. Banyak orang tidak benar-benar tahu alasan mengapa mereka memilih media atau saluran tertentu, contohnya anak-anak hanya tahu bahwa mereka menghindari menonton saluran yang menayangkan bincang-bincang orang dewasa, atau film berbahasa asing karena mereka tidak mengerti, tetapi anak-anak tersebut tidak benar-benar sadar mereka berakhir di saluran mana.
Walaupun teori ini menekankan pemilihan media oleh para pemirsanya, namun ada penelitian-penelitian lain yang mengungkapkan bahwa penggunaan media sebenarnya terkait dengan kebiasaan, ritual, dan tidak benar-benar diseleksi. Teori ini mengesampingkan kemungkinan bahwa media bisa jadi memiliki pengaruh yang tidak disadari pada kehidupan pemirsanya dan mendikte bagaimana seharusnya dunia dilihat dari kacamata para perancang kandungan isi dalam media.
Sebagai contoh saat anak-anak pulang sekolah, sudah menjadi kebiasaannya untuk mengambil makan siang dan duduk dikursi sembari menyetel TV. Tidak ada alasan yang benar-benar nyata mengapa ia menyetel TV dan bukannya membaca majalah atau koran, hanya kebiasaan, atau justru sebaliknya, bagi orang dewasa mungkin ia langsung membaca koran dan bukannya menyetel TV saat meminum kopinya dipagi hari. Pada banyak hal kejadian ini merupakan kejadian alamiah sehari-hari dan tidak dilakukan secara sadar. Walaupun begitu menonton TV dapat juga menjadi pengalaman seni dan menggugah motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu.
Namun sebuah teori yang menyatakan bahwa pemirsa media sebenarnya hanya menggunakan media untuk menyalurkan pemenuhan akan kepuasannya sejujurnya tidak secara penuh dapat menilai kekuatan media dalam lingkup sosial di masa kini. Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan dapat dikatakan tidak sempurna saat digunakan untuk menilai media yang telah digunakan secara ritual (kebiasaan). Namun teori ini tetap tepat untuk digunakan untuk menilai hal-hal spesifik tertentu yang menyangkut pemilihan pribadi saat menggunakan media.
5.    Media Equation Theory
Teori ini memprediksikan mengapa seseorang secara tidak sadar, merespon dan berbicara dengan media layaknya seperti ketika berbicara dengan orang. (Byron Reeves, Clifford Nass, 1996)
Teori ini melihat komunikasi interpersonal antara individu dan media. Kita berbicara dengan komputer kita, dan kita menerapkan hubungan pribadi layaknya komputer itu adalah seorang manusia. Kita secara tidak sadar memperlakukan media tersebut layaknya seperti manusia. Ada keunikan tersendiri dengan teori ini. Teori ini terbilang baru dan memberikan pendekatan baru dalam bidang komunikasi interpersonal.
Teori ini termasuk teori empiris (positivis). Teori ini lulus dalam kriteria teori empiris dari Chaffee & Berger’s 1997 yang mengatakan bahwa:

1. Teori ini memprediksi bagaimana seseorang memperlakukan media (berdasarkan teori interpersonal) layaknya media itu adalah manusia.
2. Teori ini menjelaskan bahwa pemirsa adalah aktif
3. Teori ini relatif mudah dimengerti
4. Teori ini termasuk aliran positivis (generalisasi, satu kebenaran, perilaku bisa diprediksi, dan tidak melihat nilai-nilai yang dianut seseorang).

Contoh kasus:
Ketika kamu melihat acara televisi dengan televisi yang kecil, kamu cenderung akan melihat lebih dekat. Dan ketika televisinya besar, kamu duduk menjauhinya. Coba saja minta tolong temanmu untuk memperhatikan tingkah lakumu ketika sedang menonton acara yang menampilkan artis, program, atau kejadian menarik. Sewaktu kecil dulu, aku cenderung mendekati televisi, tersenyum sendiri, dan terkadang terkesima jika melihat artisyang aku suka muncul didalam televisi. Sebaliknya jika ada artis yang tidak aku suka, aku cenderung untuk tidak melihatnya dan menjauhi televisi.
6.    Diffusion Of Innovasion Theory
Latar Belakang Teori
Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers (1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasimodel kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.”
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd  Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).

Esensi Teori
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa  difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.” 
Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:
(1)   Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
(2)   Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
(3)   Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalammenerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
(4)   Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama   
Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents). 
Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup:
1.      Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi
2.      Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik
3.      Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.
4.      Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.
5.      Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.

7.    Spiral Of Silence Theory
Spiral of silence theory di kenal juga dengan teori spiral kesunyian, dan sering juga disebut juga spiral kebisuan. Teori ini dikembangkan oleh Elisabeth Noelle Neumann (1973,1980). Pada beberapa sumber Neumann di sebutkan sebagai seorang sosiolog, peneliti politik, bahkan ada yang menyebutkan bahwa Neumann adalah seorang jurnalis Nazi Jerman, dimana tulisan-tulisannya mendukung rezim Hitler dan anti yahudi. Teori spiral kesunyian dianggapnya sebagai buah karyan Neumann yang pemikirannya dipengaruhi oleh lingkungan Nazi (Saverin & Tankard, 2001). Namun para ilmuwan lain lebih memilih untuk memandang teori spiral kesunyian ini sebagai sebuah teori yang hendaknya dipandang atau dinilai dengan prinsip-prinsip ilmiah.
Teori ini mendasarkan asumsinya pada pernyataan bahwa pendapat pribadi bergantung pada apa yang dipikirkan  atau diharapkan orang lain, atau apa yang orang rasakan atau anggap sebagai pendapat dari orang lain. Orang pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi sosial, atau pengucilan atau keterasingan dalam komunitasnya dalam kaitannya mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Dalam hal ini terdapat 2 premis yang mendasarinya; pertama, bahwa orang tahu pendapat mana yang diterima dan pendapat mana yang tidak diterima. Manusia dianggap memiliki indera semi statistik (quasi-statistical sense) yang digunakan  untuk menentukan opini dan cara perilaku mana yang disetujui atau tidak disetujui oleh lingkungan mereka, serta opini dan bentuk perilaku mana yang memperoleh atau kehilangan kekuatan (Saverin & Tankard, 2001). Kedua, adalah bahwa orang akan menyesuaikan pernyataan opini mereka dengan persepsi ini. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengekspresikan opini kita dengan berbagai cara, tak selalu harus membicarakannya, kita mengenakan pin atau bros, atau menempel stiker di belakang mobil kita. Kita berani melakukan itu karena kita yakin bahwa orang lain pun dapat menerima pendapat kita (Littlejohn, 1996).
Dalam menghadapi sebuah isu yang dianggap kontroversial, orang akan membentuk kesan tentang distribusi opini. Mereka mencoba menentukan apakah sikapnya terhadap isu tersebut termasuk kedalam kelompok mayoritas atau tidak, apakah opini publik sejalan dengan mereka atau tidak. Apabila menurut mereka opini publik ternyata tidak sejalan dengan mereka, atau mereka masuk kedalam kelompok (yang memiliki sikap) minoritas, maka mereka akan cenderung diam dalam menghadapi isu tersebut. Semakin mereka diam, semakin sudut pandang tertentu tidak terwakili, dan mereka semakin diam. Spiral kesunyian timbul karena adanya ketakutan akan pengucilan atau keterasingan. Neumann mengatakan “mengikuti arus memang relatif menyenangkan, tapi itupun bila mungkin, karena anda tidak bersedia menerima apa yang tampak sebagai pendapat yang diterima umum, paling tidak anda dapat berdiam diri, supaya orang lain dapat menerima anda” (Littlejohn, 1996).
Dalam hal penentuan opini publik, media masa menjadi bagian yang penting dan kuat walaupun para individu seringkali menyangkal hal ini. Tiga karakteristik komunikasi masa, yaitu cumulation, ubiquity, dan consonance, bergabung untuk menghasilkan dampak yang sangat kuat pada opini publik. Cumulation mengacu pada pembesaran tema-tema atau pesan-pesan tertentu secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Ubiquity mengacu pada kehadiran media masa yang tersebar luas. Consonance mengacu pada gambaran tunggal dari sebuah kejadian atau isu yang dapat berkembang dan seringkali digunakan bersama oleh surat kabar, majalah, televisi, dan media lain yang berbeda-beda. Dampak harmoni adalah untuk mengatasi ekspos selektif, karena orang tidak dapat memilih pesan lain, dan untuk menyajikan kesan bahwa sebagian besar orang melihat isu dengan cara yang disajikan media.
Walaupun opini publik pada hakikatnya adalah pandangan serta pemahaman pribadi terhadap sebuah isu, namun mereka tak dapat membedakan dan menyangkal pengaruh media terhadap pandangan mereka terhadap isu tersebut. Setiap orang atau individu biasanya ‘tidak berdaya’ di hadapan media. Ada dua alasan yang memprekuat ketidakberdayaan individu dihadapan media; pertama, sulitnya mendapatkan publisitas bagi suatu maksud atau sudut pandang; kedua, dikambinghitamkan oleh media, dalam hal ini Neumann menyebutnya pillory function (fungsi pasungan) dari media. Media mempublikasikan opini mana yang menonjol dan mana yang tidak. Pada akhirnya seseorang akan sulit membedakan mana pemahaman yang diperoleh dari media atau berasal dari saluran-saluran lainnya.
Dalam hal menentukan distribusi opini publik, menurut Neumann, media masa memiliki 3 cara. Pertama, media masa membentuk kesan tentang opini yang dominan. Kedua, media masa membentuk kesan tentang opini mana yang sedang meningkat. Ketiga, media masa membentuk kesan tentang opini mana yang dapat disampaikan di muka umum tanpa menjadi tersisih (Saverin & Tankard, 2001).
Dalam hal ‘keberanian’ seseorang untuk menyatakan pendapat, tentunya ada faktor-faktor lain yang membedakan. Seseorang  yang umurnya lebih muda cenderung lebih ekspresif dibandingkan seseorang yang lebih tua. Kaum pria pada umumnya lebih bersedia untuk mengemukakan pendapatnya dibandingkan wanita. Orang yang berpendidikan lebih tinggi, lebih banyak berbicara dibandingkan yang berpendidikan rendah. Dalam Littlejohn (1995), terdapat pula beberapa pengecualian dalam teori ini. Mereka adalah kelompok-kelompok atau individu-individu yang tidak takut dikucilkan dan bersedia mengemukakan opini mereka dengan tanpa memperdulikan apapun akibatnya, suatu karakteristik dari para inovator, para pembuat perubahan, dan kaum berfikiran maju.
Memang, teori lingkaran kesunyian menggambarkan fenomena yang melibatkan baik saluran komunikasi antarpribadi maupun komunikasi masa. Media mempublikasikan opini publik, kemudian memperjelas opini mana yang menonjol. Selanjutnya, individu-individu menyatakan opini mereka (atau tidak, bergantung kepada sudut pandang yang menonjol). Dan selanjutnya, media kemudian melibatkan diri kedalam opini yang diekspresikan tersebut, dan lingkaran itu terus berlanjut. Pada beberapa fenomena, teori lingkaran kesunyian dapat pula menggambarkan bagaimana sebuah ancaman-ancaman kritik dari orang lain merupakan suatu kekuatan yang ampuh dalam membungkam seseorang.
Terdapat beberapa kritik mengenai teori ini. Pada penelitiannya, Larosa (1991) menunjukan bahwa dihadapan opini publik, orang tidak benar-benar selemah yang dinyatakan Neumann. Larosa melakukan sebuah survey dimana dia menguji apakah keterbukaan politik dipengaruhi tidak hanya oleh persepsi iklim opini seperti yang dinyatakan olah Neumann, tetapi juga oleh variabel-variabel lain. Variabel-variabel lain tersebut antara lain usia, pendidikan, penghasilan, minat dalam politik, tingkat persepsi atas kemampuan diri (self eficacy), relevansi pribadi dengan isi, penggunaan media berita oleh seseorang, dan perasaan yakin seseorang dalam kebenaran pendapatnya. Hasil analisis regresi menunjukan keterbukaan dipengaruhi oleh rintangan variabel demografi, tingkat persepsi atas kemampuan diri, perhatian pada informasi politik dalam media berita, dan perasaan yakin seseorang dalam posisinya, tetapi tidak dipengaruhi oleh relevansi pribadi pada isu atau penggunaan media berita secara umum.
Rimmer dan Howard (1990) dalam penelitiannya mereka tidak menemukan hubungan antara penggunaan media dan kemampuan untuk memperkirakan dengan akurat pendapat mayoritas berkenaan suatu isu. Namun Salwen, Lin, dan Matera (1994), dalam penelitannya, mereka menemukan bahwa kecenderungan umum untuk berbicara lebih berhubungan dengan persepsi opini nasional dan persepsi liputan media nasional daripada dengan opini lokal atau liputan media lokal pada suatu isu tersebut.

DAFTAR FUSTAKA
•    Saverin, J.W., & Tankard, J.W.Jr. (2005). Teori Komunikasi: Sejarah, metode, dan terapan di  dalam media masa. Jakarta:Kencana Prenanda media Group
•    Stephen W. Littlejohn. (1996). Theories of  Human Communication. New Jersey: Wadsworth Puublication
•    Rohim, S. (2009). Teori Komunikasi: Perspektif, ragam, & Aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta
•    Nurudin, Komunikasi Massa, Yogyakarta.2004
•    Bland Michael, dkk. 2001. Hubungan Media Yang Efektif. Jakarta : ERLANGGA
•    J. Severin dan Tankard. 2008. Teori Komunikasi. Jakarta : Kencana: Media Pressindo.
•    Mulyana Deddy. 2005. Konteks –Konteks Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
•    Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rajawali Pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar